|
Pa Suswono |
“Maaf
ya agak terlambat,” ucap laki-laki berbaju batik Pacitan itu ketika
menjabat tangan dengan hangat. Ia membereskan koran yang berserak di
meja, yang tampaknya habis dibaca.
Laki-laki itu Suswono, Menteri Pertanian
era Pemerintaha Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dalam sepekan
menjadi buah bibir karena aksi heroiknya.
“Silakan,” lanjut pemilik wajah tenang itu, usai menguraikan penyebab keterlambatannya.
Sambil membenarkan letak duduknya dan menaruh sebagian lengan tangannya di meja kayu letter O, ia mulai menuturkan sebuah kisah.
Berawal dari informasi yang diberitakan
oleh media tentang seorang guru honorer asal Brebes bernama Mashudi yang
ditangkap oleh Polda Metro Jaya. Berita itu membuat Pak Sus -begitu ia
disapa- dihinggapi rasa penasaran.
Ada apa sehingga seorang guru honorer
sampai harus dicokok seperti itu? Jikalau satu alasan, katakanlah
pencemaran nama baik misalnya, kenapa langsung dilaporkan?
Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik itu, membuat nurani Pak Sus seakan
terkatah-katah.
Idealnya memang, pelaku harus dipanggil
dahulu, ujarnya, kemudian nanti sebagai saksi terlapor. Baru kalau ada
dugaan kuat dijadikan sebagai tersangka bisa diproses.
“Nah kalau (kasus) ini kan langsung. Ya
jadi tentu saja ini membuat saya penasaran,” kata laki-laki setengah
baya itu penuh penekanan.
Ia berhenti sejenak. Di ruang kerja
seluas seperempat lapangan futsal, mata Suswono menerawang ke depan.
Tepat di garis lurus keberadaan jendela kaca. Langit pada Senin (14/3)
di luar MD Building tampak bening, terangnya menerobos ruang. Membuat
gurat-guratan usia di wajah Suswono tampak. Sambil membenarkan letak
kacamatanya, ia kembali bercerita. Seakan ada mesin pemutar film dari
gagang kacamata.
Hari Ahad (6/3) lalu ada resepsi
pernikahan di Polda Metro Jaya. Kebetulan teman SMA Suswono sedang
menikahkan anaknya. Ia berangkat dari Tegal, pagi setelah shalat Subuh.
Suswono jalan dan ternyata jalanannya
cukup lancar sehingga jam 10.15 ia sudah tiba di Polda Metro.
Memanfaatkan lengang, ia sempatkan mampir ke tempat Mashudi berada
apakah benar ditempatkan di Polda atau di tempat lain.
Pukul 10.30 WIB pagi itu, Pak Sus masuk
ke ruang tahanan. Ia mendapati seorang ibu , anak laki-laki dewasa dan
seorang kakek. Mereka bertiga datang tak lama ketika Suswono tiba di
ruang tunggu tahanan itu. Perempuan itu tak lain tak bukan adalah istri
dari Mashudi. Ia meminta ke Suswono untuk membantu mencarikan jalan
keluar kasus suaminya. Sayangnya, tak mendapat izin dari petugas untuk
menjenguk. Sebab Ahad bukanlah hari besuk.
Suswono pun mencoba bicara baik-baik
dengan petugas. Ia mengatakan kepada petugas bahwa perempuan berkerudung
merah muda itu hanya ingin memastikan diri bahwa suaminya benar di
tempat tersebut dan dalam kondisi sehat. Alhamdulillah diberikan
kesempatan untuk menengok. Permintaan itu dikabulkan.
Suswono pun merekam obrolan dirinya
dengan video melalui ponsel cerdas yang dipegangnya. “Saya capek,” aku
Mashudi kepada Suswono. “Sudah 16 tahun mengabdi namun masih begini
saja,” lanjutnya.
Dari pengakuan Mashudi, memang dirinya
mengirimkan SMS-SMS yag bernada "menghina". Ketika itu Suswono belum
tahu benar kalau pesan pendek yang dikirimkan berupa ancaman. Yang ia
tangkap hanya kalimat yang memojokkan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Yuddy Chrisnandi, dalam
pengertian kalimat-kalimat yang tidak menyenangkannya.
“Kenapa kalimat-kalimat seperti itu muncul?” tanya lembut Suswono kepada Mashudi.
Mashudi sebelumnya mengatakan bahwa
dirinya mendapatkan nomor Yuddy dari internet. Mashudi mengaku hanya
mengikuti ajakan Presiden RI supaya kalau ada masalah-masalah sampaikan
ke menteri-menteri yang bersangkutan.
Mashudi mengaku ia dalam keadaan emosi.
Pasalnya ia dituding sebagai calo.“Padahal saya benar-benar guru
honorer,” lesu Mashudi berucap. Ya, guru honorer kategori K2, 2 tahun di
SD dan 14 tahun di SMA.
Ucapan “calo” itu yang membuat Mashudi
makin membuncah semangatnya untuk mengirimkan pesan bernada
ancaman-ancaman kepada Yuddy. Bom waktu bernama kekecewaan itu meledak.
Dulu pernah dijanjikan bahwa golongan K2 akan diangkat sebagai CPNS.
Namun belum terealisasi.
Pak Sus kemudian mencoba berkonsultasi
dengan salah seorang ahli hukum untuk mencari jalan keluar dari kasus
ini. Darinya, Suswono disarankan untuk mengetahui kembali proses
penangkapannya seperti apa. Kalau prosedur penangkapannya salah bisa
dipraperadilankan.
Senin, Suswono dengan segenap hati
menemui kembali Mashudi. Tepat ketika matahari kian menampakkan
kegagahannya, di sana sudah ada keluarga Mashudi yang lumayan banyak.
Kebetulan saat itu Mashudi sedang diperiksa.
Air mata Mashudi tumpah, menganak ular
di pipi ketika bersua dengan Suswono. Mashudi mengaku masih cukup syok.
Dirinya yang biasa menjadi guru mendadak harus menjadi seorang penghuni
tahanan. Ia pun mencium tangan Suswono berharap bisa menjembatani
dirinya agar kembali ke keluarga. Mashudi tak peduli dengan sosok yang
baru dikenalnya itu.
“Apa sih isi SMSnya?” tanya Suswono.
Mashudi tak menunjukkan ponselnya yang
berisi kata-kata ancaman melainkan penyidik. Ya, memang benar ada
kata-kata yang mengandung ancaman di sana, di layar ponsel itu. Dalam
persepsi Menpan RB itu, Mashudi adalah seorang calo dan menyuruh seorang
staf ahlinya Reza Pahlevi untuk mengadukan ke Polda Metro Jaya. Yang
membuat Mashudi akhirnya ditangkap dalam keadaan masih mengirim SMS
makian.
Dalam sekat-sekat jeruji besi, Mashudi
dilanda penyesalan yang teramat. Ia pun menuliskan sesuatu kepada Pak
Menteri Yuddy; sebuah surat “pengampunan dosa”.
Surat itu berisi penyesalan yang
mendalam. Ia memohon agar Menteri Yuddy mau mengampuninya. Ia menulis
betapa ia menjadi tulang punggung keluarga meski dengan penghasilan Rp
350 ribu per bulan.
Ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Ia hanya ingin kembali bertemu anak-anak dan murid-muridnya.
Setelah selesai menuliskannya, ia
menyerahkan kepada Suswono. Suswono sendiri mengambil langkah cepat
ketika sudah menerima surat itu. Segera laki-laki berusia 56 tahun itu
mengirimkan pesan pendek ke ajudan Yuddy agar ia bisa bertemu dengan
Menpan RB tersebut untuk menyampaikan amanat yang bersangkutan, ketika
itu hari Selasa.
Hingga hari Selasa siang, kabar tak jua
datang bak angin lalu belaka. Padahal Suswono mengirimkan pesan pendek
Senin sore. Sorenya seorang kawan meneleponnya—di mana sebelumnya
Suswono sudah bercerita kepadanya. Kawan tersebut; Adhyaksa Dault.
“Pak Adhyaksa kenal dekat dengan Pak Yuddy tidak?” tanya Suswono, ketika ia menerima “kring” dari Adhyaksa.
“Iya, saya kenal!”Adhyaksa mengiyakan.
Suswono meminta tolong untuk menyampaikan keinginannya. Tak berapa lama
Adhyaksa mengabarkan bahwa hari Kamis Menteri Yuddy bisa menerima
Suswono di kantornya.
Rabu kebetulan hari libur, tanggal merah
peringatan Hari Nyepi. Tak ada pertemuan. Menteri Yuddy sedang ada di
Palu. Baru kembali Rabu malam.
Hari berikutnya, akhirnya Suswono
diterima jam 11 siang. Pada pertemuan tersebut, laki-laki yang
berkediaman di Kota Hujan Bogor itu menyampaikan maksud pertemuannya.
Pak Sus mendapat amanah dari Mashudi dan surat tersebut pun diterima
oleh Yuddy. Yang tak lama langsung dibaca.
Suswono pun mengambil ponsel dan
ditunjukkan sebuah video percakapan antara dirinya dengan Mashudi. Detik
kemudian, Yuddy pun mengiyakan bahwa Mashudi adalah guru honorer, bukan
seperti dugaan sebelumnya; calo. Ia pun memaafkan “dosa” Mashudi. Tanpa
dinyana, penyidik tiba-tiba bertamu juga ke tempat Yuddy untuk memenuhi
permintaan penandatanganan BAP.
“Ini Allah yang mengatur,” ucap Suswono.
Di situlah, Menteri Yuddy menyebut
pihaknya sudah memaafkan Mashudi dan proses hukum supaya dihentikan.
Dicabut. Karena yang mengajukkan Reza Pahlevi, maka yang mencabut juga
dirinya.
Dalam proses tersebut ada surat jaminan
pula dari Suswono, ada surat perdamaian dan surat pencabutan penuntutan.
Alhamdulillah semuanya klir, bebas dan tidak ada masalah lagi.
Terang matahari di luar masih menerobos
ruang kerja ketika Suswono menyudahi kisahnya. Ia menghela nafas, lega.
“Jalan islah adalah jalan utama,” pungkasnya.
Oleh: M. Sholich Mubarok
#RelawanLiterasi